Semenjak kelulusan kelas XII dulu, tentunya setelah melewati tes baca kitab- sudah waktunya untuk ganti jabatan dalam tubuh Badan Informasi dan Penerbitan (BIP). Sebuah organisasi dalam penyebaran informasi baik berbentuk koran maupun buletin keasramaan yang terbit di asrama Madrasah Aliyah Program Keagamaan (MAPK) Pondok pesantren Nurul Jadid, Paiton-Probolinggo.
Tapi masalahnhya, tidak ada penunjukan siapa penerus ketua umum BIP. Kemudia,
sayalah yang ditunjuk menjadi ketua umum oleh dua teman sekelas saya sesuai dengan kesepakatan.
Jujur saja, sejak dulu tidak ada arahan dan bimbingan
yang bersifat pengkaderan dari senior BIP terhadap anggota juniornya, para penerusnya. Sehingga
saat saya menjabat tidak ada proyek atau program unggulan yang menjadi simbol “kabinet kerja” saya. Sehingga, fokus saya saat itu
adalah eksistensi asal terbit. Intinya, bagaimana sekiranya koran BIP di
asrama tidak kosong-melompong, meskipun tidak ada rencana yang terstruktural
dan terorganisir dalam organisasi.
Saat
itu, tidak ada payung hukum yang kuat dalam BIP. Tidak ada Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), kalender kerja, anggaran dana kegiatan, cetak
biru majalah dan koran, dan hal-hal yang bersifat administratif lainnya. Hingga
diakhir kelas XII, saya konsultasikan pada ketua asrama saat ini yaitu ust.
Zainullah, sehingga beliau menginstruksikan agar BIP memiliki payung hukum yang
kuat. Semenjak itulah, mulai ada AD/ART. Meskipun, tidak semua administratif rampung
pada saat saya menjabat.
Permasalahn
lawas di BIP masih saya warisi saat itu, seperti kurang sadarnya anggota
BIP, fasilitas yang tidak memadai, subsidi yang tidak mendukung sama sekali dan
lain sebagainya. Seringkali permasalahan ini sudah saya konsultasikan pada
pembina atau musyrifin (pengurus) lainnya, tapi jawaban konsultasi yang paling membekas
dalam benak saya “jangan mengandalkan fasilitas, karena dengan segala
kekurangan selalu memancing kreativitas.” Meskipun serasa tidak adil, dari sini
saya belajar untuk menerima apa adanya dan memaksimalkan potensi seluruhnya.
Ketika
ingin membeli kunci koran agar koran Jawa Pos tidak diambil “tangan-tangan
anak MAK”, saya sempat berusaha membuat artikel atau puisi yang dikirmkan ke
media online agar nantinya ketika tulisan saya terima, saya akan gunakan uang
tersebut untuk membeli kuncinya. Dulu saya minta tolong ke ust. Danil untuk
hotspot imternet dalam mengirim tulisan. Meskipun sampai saya lulus, tulisan saya belum
ada yang diterima dan kunci koran juga belum dibeli juga.
Selain
itu, sebagai penikmat esai As. Laksana yang biasa terbit di hari minggu koran Jawa
Pos, saya kemudian mentradisikan kembali kliping koran di BIP. Arsip koran-koran
bekas saya gunting seperlunya, esai, cerpen, berita, opini, puisi dan resensi yang
pernah terbit di koran-koran saya gunting, saya tempel, dan saya arsipkan
sendiri. Dengan harapan, agar nantinya ada penerus saya yang belajar menulis puisi,
esai, opini dsb dapat belajar dari hasil tangan kliping anak BIP.
Rencananya
dulu, hasil kliping tersebut akan dicetak. Satu untuk perpustakaan, satu untuk
BIP dan satu lagi untuk musyrif (pengurus).
Saking
emannya ke kliping tersebut, saat asrama MAK dalam masa pembangunan, hasil
kliping saya dan beberapa anggota BIP lainnya itu saya bawa pulang dan saya
cetak sendiri lalu kemudian saya simpan sendiri sebagai “camilan bacaan” menjalani
hari-hari setelah lulus MAK nanti.
Banyak
cita-cita, target dan harapan saat saya menjabat. Beberapa terlaksana dan
kegagalan lebih banyak saya dapatkan. Tapi ada “semangat proses dan berjuang”
dari penggemblengan itu semua yang masih bisa dipertahankan dalam dada, tidak
memandang dimana kita berada, menjabat apa dan entah rintangan apa lagi yang
akan dihadapi di hari selanjutnya. Selamat berjuang...
Sekina, terima kasih.

0 Komentar