Trending

6/recent/ticker-posts

Kenangan Saya dan BIP





Semenjak kelulusan kelas XII dulu, tentunya setelah melewati tes baca kitab- sudah waktunya untuk ganti jabatan dalam tubuh Badan Informasi dan Penerbitan (BIP). Sebuah organisasi dalam penyebaran informasi baik berbentuk koran maupun buletin keasramaan yang terbit di asrama Madrasah Aliyah Program Keagamaan (MAPK) Pondok pesantren Nurul Jadid, Paiton-Probolinggo.

Tapi masalahnhya, tidak ada penunjukan siapa penerus ketua umum BIP. Kemudia, sayalah yang ditunjuk menjadi ketua umum oleh dua teman sekelas saya sesuai dengan kesepakatan.

Jujur saja, sejak dulu tidak ada arahan dan bimbingan yang bersifat pengkaderan dari senior BIP terhadap anggota juniornya, para penerusnya. Sehingga saat saya menjabat tidak ada proyek atau program unggulan yang menjadi simbol “kabinet kerja” saya. Sehingga, fokus saya saat itu adalah eksistensi asal terbit. Intinya, bagaimana sekiranya koran BIP di asrama tidak kosong-melompong, meskipun tidak ada rencana yang terstruktural dan terorganisir dalam organisasi.

Saat itu, tidak ada payung hukum yang kuat dalam BIP. Tidak ada Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), kalender kerja, anggaran dana kegiatan, cetak biru majalah dan koran, dan hal-hal yang bersifat administratif lainnya. Hingga diakhir kelas XII, saya konsultasikan pada ketua asrama saat ini yaitu ust. Zainullah, sehingga beliau menginstruksikan agar BIP memiliki payung hukum yang kuat. Semenjak itulah, mulai ada AD/ART. Meskipun, tidak semua administratif rampung pada saat saya menjabat.

Permasalahn lawas di BIP masih saya warisi saat itu, seperti kurang sadarnya anggota BIP, fasilitas yang tidak memadai, subsidi yang tidak mendukung sama sekali dan lain sebagainya. Seringkali permasalahan ini sudah saya konsultasikan pada pembina atau musyrifin (pengurus) lainnya, tapi jawaban konsultasi yang paling membekas dalam benak saya “jangan mengandalkan fasilitas, karena dengan segala kekurangan selalu memancing kreativitas.” Meskipun serasa tidak adil, dari sini saya belajar untuk menerima apa adanya dan memaksimalkan potensi seluruhnya.

Ketika ingin membeli kunci koran agar koran Jawa Pos tidak diambil “tangan-tangan anak MAK”, saya sempat berusaha membuat artikel atau puisi yang dikirmkan ke media online agar nantinya ketika tulisan saya terima, saya akan gunakan uang tersebut untuk membeli kuncinya. Dulu saya minta tolong ke ust. Danil untuk hotspot imternet dalam mengirim tulisan. Meskipun sampai saya lulus, tulisan saya belum ada yang diterima dan kunci koran juga belum dibeli juga.

Selain itu, sebagai penikmat esai As. Laksana yang biasa terbit di hari minggu koran Jawa Pos, saya kemudian mentradisikan kembali kliping koran di BIP. Arsip koran-koran bekas saya gunting seperlunya, esai, cerpen, berita, opini, puisi dan resensi yang pernah terbit di koran-koran saya gunting, saya tempel, dan saya arsipkan sendiri. Dengan harapan, agar nantinya ada penerus saya yang belajar menulis puisi, esai, opini dsb dapat belajar dari hasil tangan kliping anak BIP. 

Rencananya dulu, hasil kliping tersebut akan dicetak. Satu untuk perpustakaan, satu untuk BIP dan satu lagi untuk musyrif (pengurus).

Saking emannya ke kliping tersebut, saat asrama MAK dalam masa pembangunan, hasil kliping saya dan beberapa anggota BIP lainnya itu saya bawa pulang dan saya cetak sendiri lalu kemudian saya simpan sendiri sebagai “camilan bacaan” menjalani hari-hari setelah lulus MAK nanti.

Banyak cita-cita, target dan harapan saat saya menjabat. Beberapa terlaksana dan kegagalan lebih banyak saya dapatkan. Tapi ada “semangat proses dan berjuang” dari penggemblengan itu semua yang masih bisa dipertahankan dalam dada, tidak memandang dimana kita berada, menjabat apa dan entah rintangan apa lagi yang akan dihadapi di hari selanjutnya. Selamat berjuang...

Sekina, terima kasih.

Posting Komentar

0 Komentar