#CatatanPertama : Bab Bai’ (Jual Beli)
Definisi bai’ (jual beli) adalah :
مقابلة مال بمال على وجه مخصوص
Artinya : tukar menukar harta dengan harta atas cara tertentu.
Definisi diatas dianggap kurang gamblang dan terlalu simpel dalam menerangkan pengertian jual beli secara syara’. Definisi yang gamblang dan jelas adalah :
عقد معاوضة مالية يفيد / يقتضي ملك عين او منفعة على الدوام لا على وجه القربة
Artinya : akad tukar menukar barang yang bernilai harta yang menutut untuk memiliki benda atau manfaat selamanya, tidak dengan cara tabarru’ / ibadah (sukarela).
Penjelasan Definisi :
1. Dua orang yang berakad (aqidain)
Akad secara bahasa bermakna ar-Robtu (الربط). Sedangkan secara syara’ adalah transaksi yang dilakukan oleh dua belah pihak, yakni ‘aqidain (bai’ wa musytari / penjual dan pembeli)
2. Shighot
Kesekapatan antara ke dua belah pihak yang saling paham / berkesepahaman. Kalimat yang digunakan untuk bertransaksi ini dinamakan shighot.
Kalau benda najis bagaimana ?
Pada dasarnya, jual beli benda najis itu dilarang secara fikih/syariat, karena diantara salah satu syarat benda yang boleh dijual adalah harus suci. Sedangkan terkati benda najis, kotoran sapi misalnya, bila kita hendak transaksi memiliki benda tersebut, para ulama memberikan solusi dengan akad naqlu al-yadd (mengalihkan kekuasaan). Jadi uang dari naqlu al-yadd merupakan bukan kompensasi (¬مقابلة) atau imbalan dari benda najisnya, akan tetapi sebagai imbalan dari mengalihkan kekuasaan.
Jadi, antara naqil dan manqul ilaih harus sama-sama saling memahami bahwa akad yang mereka lakukan adalah naqlul yad. Kalau salah satu pihak menyangkan bahwa ia melakukan akad naqlul yad dan pihak lainnya menyangka jual beli, maka akadnya tidak sah.
• Benda itu ada tiga macam :
a. Benda yang bisa dimiliki, yakni setiap benda yang suci dan bernyawa
b. Benda yang tidak bisa dimiliki tapi bisa dikuasai, seerti benda najis.
c. Benda yang tidak bisa dimiliki dan tidak bisa dikuasai (وضع اليد), contohnya adalah al-fawasiq al-khomsi (الفواسق الخمس). Hewan-hewan berikut diterangkan di dalam sebuah hadits tidak boleh dipelihara, seandainya ada yang ‘memelihara’ wajib dilepaskan, bahkan sunah dibunuh setelah di-indzar (diberi peringatan). Hewan tersebut adalah rajawali, gagak, tikus, ular dan anjing buas).
- Semisal ada benda najis. “saya bukan memilikinya, tapi menguasainya (احق به)”, maka tidak sah diperjual belikan karena tidak bisa dimiliki apalagi diserahkan kepemilikannya.
- Semisal lagi ada yang memilki / memelihara (secara dzohir) hewan-hewan fawasiq al-khomsi, hakikatnya pada hukum syar’i, ia tidak memiliki dan menguasai, bahkan ia sunah melepaskannya, juga sunah dibunuh setelah adanya peringatan.
• Mengapa perlu dan penting mengetahui akad-akad muamalah syar’iyyah ?
Kalau tidak demikian, kita akan memakan harta riba, baik sesuai dengan kehendak diri kita atau mengabaikannya. (اكل الربا شاء أم أبينا)
3. تمليك (tamlik) maksudnya adalah menyerahkan kepemilikan bukan melepaskan kepemilikan. Kalau melepaskan kepemilikan itu dilepas dan tidak dialihkan ke siapa-siapa.
• Dalam fikih, itu ada :
- melepaskan kepemilikan, seperti akad waqof. Atau seperti, kalau ada ikan masuk di jaring saya, maka ikan itu milik saya. kalau dilepaskan kembali ke sungai, itu jadi izalatul milki (melepaskan kepemilikan). Bukan milik saya dan siapa-siapa.
- dan ada menyerahkan kepemilikan. Contohnya seperti jual beli sebagaimana biasa.
4. مالية (sesuatu yang bernilai harta).
Syaratnya ada dua, yakni :
a. Harus benda yang bisa dimiliki (benda suci), baik bernyawa atau tidak bernyawa.
b. Punya nilai
Jadi, kalau tidak bisa dimiliki, itu bukan mal namanya. Kalau bisa dimiliki tapi tidak bernilai, bukan maliyah tapi namanya mal. Jadi beda antara mal dan maliyah (mutamawwal). Maka satu biji gandum/beras saja itu mal bukan maliyah karena tidak bernilai.
• Benda itu ada tiga macam :
a. Benda yang bisa dimiliki, yakni setiap benda yang suci dan bernyawa
b. Benda yang tidak bisa dimiliki tapi bisa dikuasai, seerti benda najis.
c. Benda yang tidak bisa dimiliki dan tidak bisa dikuasai (وضع اليد), contohnya adalah al-fawasiq al-khomsi (الفواسق الخمس). Hewan-hewan berikut diterangkan di dalam sebuah hadits tidak boleh dipelihara, seandainya ada yang ‘memelihara’ wajib dilepaskan, bahkan sunah dibunuh setelah di-indzar (diberi peringatan). Hewan tersebut adalah rajawali, gagak, tikus, ular dan anjing buas).
- Semisal ada benda najis. “saya bukan memilikinya, tapi menguasainya (احق به)”, maka tidak sah diperjual belikan karena tidak bisa dimiliki apalagi diserahkan kepemilikannya.
- Semisal lagi ada yang memilki / memelihara (secara dzohir) hewan-hewan fawasiq al-khomsi, hakikatnya pada hukum syar’i, ia tidak memiliki dan menguasai, bahkan ia sunah melepaskannya, juga sunah dibunuh setelah adanya peringatan.
• Mengapa perlu dan penting mengetahui akad-akad muamalah syar’iyyah ?
Kalau tidak demikian, kita akan memakan harta riba, baik sesuai dengan kehendak diri kita atau mengabaikannya. (اكل الربا شاء أم أبينا)
3. تمليك (tamlik) maksudnya adalah menyerahkan kepemilikan bukan melepaskan kepemilikan. Kalau melepaskan kepemilikan itu dilepas dan tidak dialihkan ke siapa-siapa.
• Dalam fikih, itu ada :
- melepaskan kepemilikan, seperti akad waqof. Atau seperti, kalau ada ikan masuk di jaring saya, maka ikan itu milik saya. kalau dilepaskan kembali ke sungai, itu jadi izalatul milki (melepaskan kepemilikan). Bukan milik saya dan siapa-siapa.
- dan ada menyerahkan kepemilikan. Contohnya seperti jual beli sebagaimana biasa.
4. مالية (sesuatu yang bernilai harta).
Syaratnya ada dua, yakni :
a. Harus benda yang bisa dimiliki (benda suci), baik bernyawa atau tidak bernyawa.
b. Punya nilai
Jadi, kalau tidak bisa dimiliki, itu bukan mal namanya. Kalau bisa dimiliki tapi tidak bernilai, bukan maliyah tapi namanya mal. Jadi beda antara mal dan maliyah (mutamawwal). Maka satu biji gandum/beras saja itu mal bukan maliyah karena tidak bernilai.
- Manfaat dalam mabi’ itu tidak boleh menyalahi syariat
- Dalam jual beli, tidak harus tukar menukar antara uang dengan benda, tukar menukar benda dengan benda (barter) itu termasuk jual beli. Misal saya punya beras 1 kg. Ditukar dengan sarung, itu termasuk jual beli.
- Tukar menukar makanan itu tidak boleh, karena termasuk barang ribawi . contoh mudahnya adalah tukar menukar berkat. Itu dinamakan jual beli.
- Riba menurut Ibnu Hajar al-Haitami itu dosa besar. Juga termasuk contoh riba adalah ketika ada teh ditukar dengan kopi. Itu termasuk bai’ ribawi.
5. معاوضة (saling tukar menukar).
Dalam artian, adanya tamlik wa tamalluk (يقتضي ملك عين أو منفعة) pada objek (معقود عليه). Benda yang diperjual belikan. Dari pihak pembeli itu namanya tsaman sedangkan dari pihak penjual itu namanya mabi’.
- Mabi’ itu ada dua :
a. ‘ain (benda) : muqobil/kebalikannya manfaat. ‘Ain itu ada dua, yakni ‘ain mu’ayyan dan ‘ain berupa dzimmah (tanggungan). Maka adanya jual beli dain (bai’ dain bid dain) -> hukumnya tidak boleh.
b. Manfaat
- Keterkaitan orang dengan benda itu terbagi menjadi tiga :
- Dalam jual beli, tidak harus tukar menukar antara uang dengan benda, tukar menukar benda dengan benda (barter) itu termasuk jual beli. Misal saya punya beras 1 kg. Ditukar dengan sarung, itu termasuk jual beli.
- Tukar menukar makanan itu tidak boleh, karena termasuk barang ribawi . contoh mudahnya adalah tukar menukar berkat. Itu dinamakan jual beli.
- Riba menurut Ibnu Hajar al-Haitami itu dosa besar. Juga termasuk contoh riba adalah ketika ada teh ditukar dengan kopi. Itu termasuk bai’ ribawi.
5. معاوضة (saling tukar menukar).
Dalam artian, adanya tamlik wa tamalluk (يقتضي ملك عين أو منفعة) pada objek (معقود عليه). Benda yang diperjual belikan. Dari pihak pembeli itu namanya tsaman sedangkan dari pihak penjual itu namanya mabi’.
- Mabi’ itu ada dua :
a. ‘ain (benda) : muqobil/kebalikannya manfaat. ‘Ain itu ada dua, yakni ‘ain mu’ayyan dan ‘ain berupa dzimmah (tanggungan). Maka adanya jual beli dain (bai’ dain bid dain) -> hukumnya tidak boleh.
b. Manfaat
- Keterkaitan orang dengan benda itu terbagi menjadi tiga :
a. Memiliki pada benda (juga manfaatnya).
Contohnya, “saya memiliki benda ini (terserah benda apa saja)”, maka ini namanya benda ‘ain.
b. Memiliki manfaatnya, tidak bendanya.
Contohnya, ketika seseorang menyewa sesuatu. Berarti ia memiliki manfaatnya, bukan bendanya.
c. Memiliki dain / dzimmah (tanggungan).
Contohnya, tidak memiliki manfaat dan benda itu dain. Dain atau tanggungan (الذمة) merupakan sesuatu yang abstrak (وعاء اعتباري). Seolah-olah pada diri kita ada hak dan kewajiban (تحل في الحقوق والواجبات) yang harus ditunaikan.
Dain itu abstrak (امر اعتباري) tapi menurut Mazhab Syafi’i, dain itu bisa dimiliki. Kenapa bisa dimiliki ?
Karena dimungkinan untuk tasharruf. Pengertian milik dalam Mazhab Syafi’i adalah memungkinkan untuk ditransaksi (ممكن التصرف). Buktinya apa ?
Dalam zakat, sesuatu yang wajib dizakati merupakan benda yang harus dimaliki, baik berupa dain dan ‘ain. Misalnya, saya punya satu batang emas beratnya 1 kg. Dan ini sudah mencaapai satu nishob. Kemudian, Zaid hutang emas kepada saya ini. Lalu, kepemilikan benda ini berpindah ke tangan Zaid dan saya memiliki piutang kepada Zaid untuk bayar seharga 1 kg. Sebagai tanggungan Zaid.
Dalam Mazhab Syafi’i, emas tadi ini wajib dizakati. Kalau sudah lewat waktu 1 haul dari tangannya Zaid, Zaid wajib menzakati emasnya karena emasnya sudah miliknya Zaid. Saya sebagai pihak memiliki piutang, saya juga wajib mengeluarkan zakat, bukan atas emasnya, tapi karena piutang yang dimiliki. Jadi, nanti kalau Zaid bayar, berlalu 1 haul maka saya wajib menunaikan zakatnya.
Ini bukti bahwa dalam Mazhab Syafi’i memungkinkan kepemilikan benda/dain. Mal itu tidak harus ‘ain, tapi juga dain.
Oleh karena itu, Mazhab Maliki bilang, “ini aneh orang Mazhab Syafi’i. Emasnya satu tapi yang bayar zakat itu dua orang”. Karena ke dua mazhab ini berbeda pandangan perihal benda yang dimiliki. Karena dalam Mazhab Syafi’i, milik itu sekira bisa tasharruf.
- Kalau dain bisa tasharruf ?, jawabannya “bisa”. Misal, “saya, bebaskan”.
- Fulan itu punya hutang pada saya, berarti hutang itu milik saya. apa buktinya ?, “bebas dah, tidak usah dibayar”. Kan boleh seperti ini.
6. Maka, يفيد / يقتضي التمليك : jual beli itu menetapkan kepemilikan benda, baik berupa benda nyatanya atau benda dalam bentuk dain (akan dibahas lebih dalam pada akad salam).
7. Atau “او منفعة” : manfaat itu juga mal. Menurut Mazhab Syafi’i. Manfaat itu benda yang memiliki nilai. Apa buktinya ? ada akad ijaroh (sewa-menyewa). Seseorang yang memiliki benda, kadang tidak memiliki manfaat. Begitupula sebaliknya, seseorang yang memiliki manfaat tapi tidak memiliki bendanya. Dengan kata lain, benda dan manfaat adalah hal yang berbeda.
Benda yang ber-mal, sedangkan manfaat adalah شيئ ﺁخر (sesuatu yang lain). jadi, manfaat adalah sesuatu yang memiliki atsar (dampak/pengaruh) tapi tidak lepas dari bendahara. Akan tetapi, ulama mutaakhiri (kontemporer), membedakan antara manfaat dan atsar.
a. Manfaat : sesuatu yang bisa dirasakan, tapi tidak terlepas dari bendanya. Misalnya, manfaarnya kacamata untuk dipakai, mobil untuk dinaiki. Manfaat dari kacamata dan mobil itu tidak bisa lepas dari bendanya.
b. Atsar : manfaat bisa dirasakan, tapi terlepas dari bendanya. Tidak melekat pada benda, misalnya adalah sinar. Gambarannya : ada lampu, lalu sinarnya keluar jendela. Lalu anda ambil buku, ngampong sorot sinarnya untuk baca buku. Ini namanya atsar. Sehingga ketika seseorang memanfaatkan sinarnya bukan termasuk ghosob, karena atsar tidak dapat dikuasai. Contoh lainny adalah bayang (kita bernaung dibayangan).
b. Atsar : manfaat bisa dirasakan, tapi terlepas dari bendanya. Tidak melekat pada benda, misalnya adalah sinar. Gambarannya : ada lampu, lalu sinarnya keluar jendela. Lalu anda ambil buku, ngampong sorot sinarnya untuk baca buku. Ini namanya atsar. Sehingga ketika seseorang memanfaatkan sinarnya bukan termasuk ghosob, karena atsar tidak dapat dikuasai. Contoh lainny adalah bayang (kita bernaung dibayangan).
- Apakah boleh jual beli atsar ?
Al-Qiyas, kalau ikut aturan semestisnya, itu tidak boleh. Karena akad jual beli menuntut serah terima (tamlik wa tamalluk). Kalau manfaat itu أمر اعتباري, tapi serah terimanya diwujudkan dalam serah terima bendanya. Kalau atsar, serah terimanya bagaimana ?. Kalau tidak ada serah terima, bagaimana tamlik wa tamalluk ?
Perihal atsar ini, ulama berbeda pendapat. apakah boleh menjual hak cipta ?. Karena hak cipta bukan manfaat tapi atsar. Kalau ikut jual beli, apa diserah terimakan ?. kan tidak ada. Seperti dalam hal hak cipta/royalti.
Tetapi, pendapat sebagian muasshirin itu boleh. Meski bukan manfaat, tapi punya nilai. Pandangan ini berlandaskan pada sebuah kaidah dalam Mazhab Hanafi, “hal-hal yang punya nilai, meski tidak punya nilai, maka boleh jadi”. Seperti halnya bangkai, meski dalam Mazhab Syafi’i, selain najis benda tersebut adalah sesuatu yang tidak bernilai, tetapi dalam Mazhab Hanafi dan Maliki, mereka berbeda. Pada awal mulanya memang tidak punya nilai, tapi kalau orang-orang mengatakan ini punya nilai, maka boleh diperjual belikan. Menurut sebagian ulama.
8. لا على وجه القربة : definisi ini hanya sebagai penyempurnaan saja. sebagian ulama tidak menambah qoyyid (batasan) ini. Maksud dari kata di atas adalah akad jual beli tidak untuk tabarru’ / berderma.
Qoyyid ini mengecualikan akad utang-piutang. Akad utang piutang itu mendekati jual beli. Ada praktek tamlik & tamalluk, mu’awadhoh & maliyah. Misalnya adalah saya hutang satu juta. Maka ini tamlik & tamalluk, tapi tidak dalam motif/dilaksanakan unsur maliyah, tapi unsur tabarru’-nya.
Dalam akad jual beli tidak begitu. Dalam jual beli itu dimungkinkan, mabi’ yang diperjual belikan punya nilai lebih tinggi/rendah. Karakter jual beli itu profit (ambil keuntungan). Maka, ittijar itu jual beli pasti orientasinya adalah profit, bukan tabarru’ (berderma). Misal, saya beli songkok lalu dijual satu juta, itu boleh. Tapi menurut Imam al-Ghazali, jangan lebih dari 1/3 dari labanya karena itu tidak baik.
Kalau hutang dilandaskan profit maka itu dinamakan riba. ربا القرض dengan bai’ itu ada kemiripan dan memang sudah terjadi sejak zaman jahiliyah. Oleh karena itu, orang-orang musyrik saat turun larangan riba, mereka menyangkan : انما البيع مثل الربا. Lalu apa perbedaan dari bai’ dan riba ?
a. Kalau saya punya sarung harganya sepuluh ribu lalu dijual dua puluhribu, maka boleh dan tidak haram.
b. Kalau saya punya uang sepuluh ribu dan saya hutangkan dengan syarat orang yang berhutang nanti wajib mengembalikan dua puluh ribu, maka itu tidak boleh.
Jadi jawabannya, واحل الله البيع مثل الربا
Karena motivasinya/landasan dari bai’ itu adalah profit. Sedangkan landasan dari qord itu derma/tolong menolong, bukan malah cari kesempatan. Sehingga tidak boleh mengambil untuk sedikitpun dari muqrid (orang yang menghutangkan) kepada muqtarid (orang yang berhutang).
0 Komentar