Trending

6/recent/ticker-posts

Cerita di Jakarta: Selasa, Gagal Pulang Geser ke Kemenag dan Perpusnas (5/5)

 Hari Senin berlalu, aku memasuki hari Selasa (17/01). Beberapa orang bertanya kapan kepulanganku. Akan hanya bisa menjawab, “insyaallah hari Selasa”. Selasa pagi, aku sebenarnya bimbang, mau pulang sekarang atau tidak. Aku masih ingin jalan-jalan. Kalau perlu ke Ciganjur, kediaman keluarga Gus Dur. Silaturahmi sekaligus tabarrukan pada cucu Hadratussyekh Kiai Hasyim Asy’ari tersebut. Aku juga baru tahu, ternyata Ra Fayyadl pernah menjadi ‘khadam’ di Ciganjur selama setahun.

Aku juga ingin ke perpustakaan nasional, ke kantor redaksi islami.co, bincangsyariah dan lain-lain. Tapi tak apalah. Kapan-kapan mungkin bisa. Aku juga tidak enak menunda kepulanganku bila alasan tak kuat. Aku juga sudah ditanya Ust. Syukron terkait kepulanganku. Aku hanya menjawab besok Selasa.

Pagi itu, aku coba menghubungi pihak bis Kramat Djati. Memang setelah aku banding-bandingkn dengan beberapa penyedia jasa layanan bis menuju ke Paiton, bis Kramat Djati yang paling murah dan nyaman. Kecuali kalau kereta. Meskipun harganya lebih murah, aku tak bisa naik kereta karena belum vaksin. Kalau pakai kereta itu, dari Jakarta ke Surabaya sekitar seratus ribuan berapa gitu. Saya lupa. Kalau dari Surabaya ke Probolinggo, hanya dua puluh ribuan. Tak sampai tiga puluh. Dari Probolinggo naik bis menuju Paiton. Harus ganti-ganti. Beda dengan bis yang sekali naik dan turun di Paiton.

Terkait pemesanan tiket, aku sudah mengiyakan akan pulang siang itu. Sekitar jam 2. Aku sudah telfon dan menanyakan harga, proses pembayaran hingga jadwal makan. Fix dah. Aku tinggal transfer untuk pembayaran saja. Tapi setelah telfon itu, aku di chat oleh Pak Waryono bahwa beliau ada di kantor.

Aku pun auto ke sana. Mumpung beliau bisa ditemui. Aku pun membatalkan pemesanan pemberangkatan pulang. Aku ke sana bareng Nabil. Ia putra dari Pak Faizin sekretariat Pesantren. Aku kenal dia sejak di sekretariat. Ia menetap di sini karena ia kuliah di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA).

Aku kemenag, tanya-tanya, akhirnya sampai juga di ruang direktur Pendidikan dan Pondok Pesantren, yakni ruangannya Pak Waryono Abdul Ghofur. Sesampai disana, aku menemui staffnya lalu bertemu beliau.

Seperti biasa, aku menyampaikan awal mula dan maksud kedatanganku. Pa Waryono, secara halus menegurku :

1.       Acara webinar kok gratisan. Nasehat ini berkaitan dengan acara #BincangMuktamar yang mengundang beliau pada rangkaian acara kami. Saat itu, kami menggunakan link G-Meet gratis yang limit penggunaannya hanya satu jam. Jadi setelah satu jam harus buat link baru lagi.

2.       Secara etika birokrasi, aku tidak boleh langsung menemui Pak Waryono selalu direktur. Seharusnya menemui Pak Nurul selaku kasubdit PMA. Secara etika birokrasinya begitu. Bukannya tidak mau ketemu, tapi memang begitulah etika dan prosedurnya.

3.       Jangan minta shareloc. Apalagi Kemenag, tentu tinggal cari di Maps. “Saya dulu jadi mahasiswa gak begitu,” begitu kata beliau. Teguran ini berkaitan dengan chatku pada beliau untuk minta share-loc pada hari sebelumnya.

Wah. Rasanya keluar dari gedung Kemenag itu, pipiku ditampar. Sakit. Tapi semua ini adalah pembelajaran. Semoga aku mengenang baik pengalaman ini untuk ku jadikan pelajaran.

Setelah itu, aku diajak makan oleh Nabil ke kantin yang ada di sana. Masih di lingkungan Kemenag. Aku tidak makan soalnya sudah makan. Aku hanya minum jus alpukat yang harganya sepuluh ribu.

Aku dan Nabil banyak ngobrol macam-macam. Sebenarnya sejak di sekretariat, di perjalanan menuju ke Kemenag, Nabil ini orangnya enak diajak ngobrol, interaktif dan mudah bergaul. Kami ngomongin dari rusaknya moral kebanyakan anak muda di Jakarta, terkikisnya budaya betawi, karya Pak Anis di Jakarta, PMII dan segala persoalannya, hingga kasus Sambo yang tak kunjung usai.

Aku sholat ashar di Kemenag. Setelah itu berangkat ke perpustakaan Nasional. Aku awalnya sempat bingung karena melihat lantai demi laintai, kok sedikit bukunya. Katanya perpustakaan nasional.



Ternyata cara baca dan pinjam bukunya dengan mencari judul buku melalui komputer pencarian. Menghadap petugas dan menyerahkan kartu anggota perpusnas. Nah, aku baru tau kalau harus punya kartu anggota. Mau tidak mau aku harus urus kartu juga di lantai dua. Tapi aku sholat Maghrib dulu, lalu ngurus kartu. Alhamdulillah tidak antri lama, urusan administrasi selesai dan kartupun langsung jadi.

Aku langsung menuju lantai 12, pinjam buku untuk di baca-baca. Aku pinjam buku greendeen. Penulisnya adalah muslim Amerika yang memiliki pengalaman dan kesadaran akan ‘Islam sebagai agama hijau' serta praktiknya di Amerika Serikat. Aku baca sekilas, karena jam setengah 9 sudah proses sterilisasi pengosongan gedung. Jam 9 harus tutup. Aku bersyukur sudah dapat berkunjung dan ada pengalaman ke sini.

Oh ya, untuk malam itu, aku tidak pulang ke Tebet. Aku langsung diajak ke Ciputat dan pulang dari daerah dekat sana. Aku mengiyakan. Aku juga minta tolong barang-barang ku di Tebet agar dibawa juga. Perjalanan dari Perpusnas ke Ciputat lumayan lama. Sekitar pukul 22.30 wib aku sampai di Fajar Zaini. Tak lupa, aku juga bawa nasi untuk makan aku dan kawan lainnya.

Malam itu, aku tabhek dengan Mas Syahrul. Mas Yoga bilang kenyang sudah makan. Nasinya sisa satu. Entah siapa yang makan. Pagi hari saat bangun tidur nasi itu sudah tiada. Aku tak tahu. Yang jelas, malam itu aku tidur duluan. Persiapan esok akan pulang. Good bye. Jakarta. See you again.

Suasan Lantai 24 (kalau tidak salah) Disambut Monas


 

 

Posting Komentar

0 Komentar