![]() |
Sumber Gambar : islami.co |
Penulis : Virdika
Rizky Utama
Penerbit : Numedia
Digital Indonesia
Ketebalan dan Panjang Buku : xxi.;17,6 x 25 cm
Cetakan : I, Desember 2019
ISBN : 976-602-52420-6-9
Peresensi : Alfin Haidar Ali
Saat terjadi kudeta Mesir, aktivis Ikhwanul Muslimin turun jalan.
Muhammad Mursi, presiden dari kubu mereka, didongkel jenderalnya sendiri,
Assisi. Mereka melawan. Tentara memberangus gerakan politik islamis ini. Para
pemimpin Ikhwanul Muslimin tak mau menyerah, mereka menyuarakan perlawanan.
Banyak aktivis jadi martir.
Di Turki, Erdogan nyaris didongkel. Pelakunya? Faksi kecil militer.
Dari tempat liburannya, sang presiden menyuarakan perlawanan. Pendukungnya bergerak.
Arus bawah menguat. Kudeta akhirnya gagal
Di Indonesia, 2001, Gus Dur versus parlemen. Dengan halus dan
piawai, para politisi mempreteli kekuasaan Gus Dur. Mega dan Amien Rais
melakukan manuver politik yg bisa disebut sbg kudeta halus
Sebagian politisi NU menyuarakan perlawanan, warga nahdliyin
membentuk front "perjuangan". Mereka siap mempertahankan Gus Dur di
kursi kekuasaan dengan taruhan nyawanya.
Suara perlawanan terus dikumandangkan. Basis-basis nahdliyyin
menggelegak, dibangkitkan dengan narasi terdzolimi. Di tengah kondisi yg
memanas ini, bagaimana reaksi Gus Dur sebagai RI-1 yang didukung jutaan
massanya? Apakah dia menggelorakan perlawanan dg menggerakkan pendukungnya?
Tidak
Dengan berkaos dan bercelana pendek, di teras istana negara, ia menyapa
para pendukungnya yang sudah siap mati untuknya. Ini penampilannya yang paling
eksentrik. Presiden yang menanggalkan simbol kebesarannya dengan hanya
mengenakan baju rakyat : kaos dan celana pendek.
Bisa saja Gus Dur menggunakan pakaian
kebesarannya dan symbol-simbol tertentu untuk menyentuh aspek
sentimentil-emosional pendukungnya. Tapi tidak, ia tak melakukannya. Dengan
tertatih-tatih, Gus Dur mengangkat tangan, dan mengatakan, “Tidak ada jabatan di dunia ini yang harus
dipertahankan mati-matian, apalagi sampai menumpahkan darah orang Indonesia.
Nanti sejarah akan membuktikan kebenarannya," Ucap Gus Dur dilansir dari
nu.or.id.
Tak ada orasi perlawanan, tak ada narasi sebagai pihak yang
dizalimi, juga tak ada glorifikasi jabatan melalui penggunaan jargon-jargon
agama. Para pendukungnya, yg datang dari berbagai daerah, menangis. Bukan
karena melihat Gus Dur sebagai pihak yang dizalimi, tapi tangis haru melihat
upaya sang tokoh menghindari bentrok sesama anak negeri.
Pada 30 Desember 2019 lalu, kita mengenang haul dekade gus dur. Diberbagai tempat memperingati
kebesaran jasa dan pemikiran gus dur. Pada momen tersebut, Virdika
Rizkika Utama merilis buku menjerat gus dur. Sebuah buku yang
menjelaskan dinamika dilesengsernya gus dur dari kursi kepresidenan 2001.
![]() |
Sumber Gambar : suara.co |
Meski belum membelinya,
setidaknya sudah banyak yang menjelaskan isi buku tersebut dengan resensi
ataupun bedah buku tersebut di youtube, hingga tulisan Virdika Rizkia Utama di alif.id.
Sebagai presiden di masa transisi,
Gus Dur memiliki tugas yang amat berat. Ia harus memenuhi tuntutan reformasi
yang ingin diadakannya penuntutan dan pembersihan rezim lama. Celakanya, anasir
Orde Baru begitu mengakar di segala sendi pemerintahan.
Sedangkan, konsolidasi kekuatan baru
belum mencapai titik temu. Akibatnya, posisi Gus Dur menjadi sulit, karena Gus
Dur tak memiliki modal politik yang cukup kuat. Gus Dur terpilih karena adanya
koalisi Poros Tengah yang digagas Amien Rais dan Partai Golkar.
Kenapa mereka mendukung Gus Dur
? Mereka berpikir akan dengan mudah menyetir Gus Dur. Poros Tengah punya
kepentingan membawa semangat sektarian Islam, yang sebagian faksi kecewa dengan
dicopotnya Habibie sebagai presiden. Sebab, Habibie dianggap sebagai
representasi Islam karena keterlibatannya sebagai Presidium Ikatan Cendikiawan
Muslim Indonesia (ICMI).
Sedangkan Partai Golkar mendukung Gus
Dur karena tak punya pilihan lain. Dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDI-P), mereka punya perselisihan sejarah yang terjadi selama Soeharto
berkuasa. Jika maju sendiri mencalonkan diri sebagai presiden, Golkar tak
berani karena elemen reformasi ingin membubarkan Golkar. Maka, dengan hanya
mendukung Gus Dur, mereka berharap.
Namun pada kenyataannya Gus Dur tak
bisa diajak kompromi. Di awal penyusunan kabinet, misalnya, Amien Rais meminta
Menteri Keuangan harus dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan orangnya adalah
Fuad Bawazier. Akan tetapi, Gus Dur menolaknya.
Titik klimaks kegeraman partai
koalisi saat Jusuf Kalla (JK) dan Laksamana Sukardi dipecat. Keduanya dituduh
melakukan Korupsi Kolisi dan Nepotisme (KKN), tapi Gus Dur menolak merinci
pernyataannya. Isu ini direspons cepat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Semua kekuatan yang dulu sempat berselisih menjadi satu; Golkar dan PDIP.
Setelah 18 tahun Gus Dur dilengserkan
dengan cara seolah-olah konstitusional, aktor dan konfigurasi politik Indonesia
hari ini masih sama. Ini membuktikan betapa kuatnya kekuatan oligarki Orde Baru
mencengkram.
\Gus Dur membuktikan bahwa politik tanpa
kompromi dengan niat yang tulus membersihkan ‘virus’ oligarki Orde Baru
sebenarnya sangat bisa dilakukan. Gus Dur ingin membuat sejarah dan peradaban
bahwa politik tanpa transaksi dapat dilakukan. Prasyaratnya adalah kemauan,
kesiapan, dan keberanian. Gus Dur memiliki itu, hanya saja Gus Dur kekurangan
salah satu syarat yakni konsolidasi kekuatan baru belum terbentuk dengan kuat.
Syarat itu mutak diperlukan dalam
politik, tanpa hal itu seberapa besar pun niat baik untuk membersihkan
oligarki, akan malah justru terseret dalam lingkaran tersebut. Sebab, Orde Baru
bukan hanya manusianya, melainkan juga cara pikir dan perilaku yang tidak
demokratis.
Kita tak mau bila demokrasi di
Indonesia hanya bersifat teknis dan juga transaksional. Gus Dur dalam usahanya mendemokratisasi
Indonesia menempatkan rakyat sebagai subjek yang berdaulat. Bukan seperti yang
selama ini masih terjadi, yang sah berdaulat hanya pemerintah dan partai
politik. Rakyat hanya diakui dan dibutuhkan ketika pemilu berlangsung dan
banyak transaksi di belakangnya. Sungguh tak memanusiakan dan juga sebuah
peradaban politik yang dangkal.
Dari Gus Dur, kita belajar tentang
konsistensi sikap. Ketika masih di luar kekuasaan, ia terus membentuk,
memperjuangkan, dan merawat idealismenya —terutama tentang kemanusiaan— dan
ketika berada di dalam kekuasan, Gus Dur memperjuangkan idealismenya agar dapat
terwujud.
Buku ini ditulis, seperti yang
dikemukakan Alissa Wahid, bukan untuk melakukan pembalasan dendam, melainkan
sebagai pelajaran agar kita tak selalu diwarisi awan gelap masa lalu dan
catatan sejarah harus diluruskan. Sebab, tanpa membaca dan mengungkap sejarah,
masa depan hanya spekulasi keinginan dan angan-angan.
1 Komentar