Trending

6/recent/ticker-posts

Wisuda: Refleksi Dari Para Wali Santri

 



Rasanya, mencari ilmu di pondok itu berat dan sulit sekali. Melihat para wali santri ke ma’had aly, mendamba-dambakan putra-putrinya wisuda tadi pagi, jadi teringat orang tua di rumah. Para orang tua ini, jauh-jauh dari berbagai daerah, meninggalkan aktivitas, pekerjaan dan menggunakan tabungan hasil jerih payah mencari nafkah. Demi satu: membarengi anaknya tercinta  sedang di wisuda.

Para orang tua ini -menurut saya pribadi-, setidaknya akan berpikir anaknya bagaimana bila tidak sama dengan teman sebaya. Anak yang lain disambang oleh orang tuanya, sedangkan anaknya sendiri sendirian. Tidak ada orang tuanya dikarenakan sibuk bekerja.

Kalau dipikir-pikir lagi, saya juga teringat diri ini yang -hm, entahlah- masih jauh dari kata ideal. Bagaimana caranya supaya tidak dzolim di pondok. Menggunakan waktu sebaik-baiknya. Tidak melanggar dan tentunya selaras dengan teman serta para guru.

Bercerita tentang orang tua, khususnya ibu, saya jadi teringat dulu. Ketika acara akhir masuk sekolah, semacam wisuda itulah, acara dilaksanakan pagi menjelang siang. Sedangkan ibu di rumah sedang ramai-ramainya merias. Saya pasrah saja, berangkat ke sekolah tanpa orang tua. Di tengah-tengah para anak, teman sebaya saya yang dibarengi oleh orang tuanya.

Kejadian itu terjadi saat kelas enam sekolah dasar (SD). Acara itu juga ada pengumuman lima besar Ujian Nasional (UN). Saya saat itu dikenal sebagai murid yang tak pandai-pandai amat, sering telat masuk sekolah dan dikenal -yang bahasa maduranya: teng sletengan. Ternyata malah juara tiga.

Tekerjutlah diri ini. Mengalahkan juara empat saat itu, yang langganan juara satu di sekolah. Untung saat itu hanya anaknya saja yang dipanggil ke depan, tidak orang tuanya. Ternyata ada kejutan tiba: ibu datang.

Setelah berada di panggung, saya langsung ke belakang. Saya menghampiri ibu yang ada di kursi paling belakang. Ibu hadir. Saya yang tadinya duduk di depan bersama para siswa lainnya, kemudian berjalan ke belakang, banyak dilihat oleh orang-orang sekitar. “Lho, alfin mau ke mana ?”.

Karena sejak awal, orang tua saya memang tidak tampak ada di acara tersebut. Kejadian itu membuatku terharu. Saya yang juara 3 besar, tanpa diduga-duga mengalahkan si langganan juara 1 di kelas itu, lalu ada orang tua saya hadir di acara itu. Terimakasih bu.

Entah, berapa kali saya mengecewakan ibu. Tak terhitung pula saya menyesalinya. Tak terhingga pula saya mengulanginya. Seperti siklus kehidupan seperti itu. Maksiat, taubat, doa dan maksiat lagi. Berputar-putar.

Bukan hanya tentang ibu saja. tentang apa saja. Saya ingin menangis, saat ini menyesali keadaan, lalu bertaubat kemudian nanti mengulangi lagi. Hah, entahlah. Semoga para orang tua, ayah-ibu, baik orang tua secara nasab dan ideologis, sehat selalu di rumah. Lancar rezekinya, dipermudah segala urusan dan terkabul segala hajat.

Tak kuat rasanya menulis semua jasa dan perjuangan orang tua.~

Paiton. Ahad, 27 Maret 2022.

Posting Komentar

0 Komentar